Jumat, 09 Mei 2014

Hujan Jakarta di Taman Nusantara



sepasang tangan di taman nusantara.  sepasang hati yang tertinggal.

Hujan Jakarta di Taman Nusantara


Danau nusantara dengan pulau teratai
kereta gantung melayang-layang
kata dari kaki yang mengayun di kursi taman
burung gereja mematuki remah mie di tepinya
kisah membuncah bagai selat yang pasang
segala tentang itu, adalah hujan Jakarta yang hangat
harum bingkai coklat dan tawamu.

Langit sore yang nyala
menerbangkan pesawat warna-warni
muka tugu yang membenam kolam
lahap kaki-kaki pribumi, buang sisa hatinya

Prambanan palsu yang membatu
pancangkan kamu di taman ini
kita kerat sore itu,  lukisan kelinci
bersama langitnya yang keemasan
-Tuhan maha segala
kita sulam pada figura, di dada kita masing-masing

Taman nusantara ini, tetap tidak terlalu besar
untuk menampung perasaan kita

Rumah-rumah, rell kereta, pohon-pohon bisu
Genggam kamu dalam diam
Risalah segala bahagia dan gundah

hujan mereda di langit Jakarta
sisakan kasih yang tertinggal di sini
di hati kita.

Mei 2014

Anglo

cinta itu harus sekadarnya saja, tidak baik berlebihan. seperti manisnya secangkir teh dengan sesendok gula pasir. seperti manisnya jambu air. manis. manis yang aman.
nah, 1 lagi cerpen karya fahmi reza yang akan saya post-kan. selamat membaca. semoga anda suka.



ANGLO
            Asap mengepul di langit-langit. Kemenyan meleleh di pedupaan, menyebarkan wangian khas yang kemudian mengantri, keluar lewat bubungan. Dalam baskom berisi air, mengambang tujuh rupa bebungaan yang menyengat pula baunya. Udara tak bergerak, temaram menyibak antara mantra dan logika. Jari-jarinya terus menaburkan menyan pada bara, perlahan, menambah gumpalan asap yang menusuk mata. Alisnya mengernyit, menandakan keseriusan. Matanya menikam ke sudut-sudut ruangan.
            Kulihat, kuperhatikan wajahnya. Bibirnya yang penuh dengan garis tegas bergerak-gerak kecil, matanya menutup dengan kepala tertunduk. Belum ada kerut disana; dia masih muda. Hanya saja, janggut, kumis, dan gayanya, membuatnya jadi terlihat lebih tua; tak bersahabat. Saat bola matanya mengarah padaku, aku lemparkan pandanganku, kemana saja, asal tak ditemukannya. Kemudian dia mulai bertanya, dan aku menjawab. Karena ini sebuah tujuan, maka aku utarakan maksud bahwa aku ingin membuat seseorang jadi kembali mencintaiku, mungkin tepatnya agar seseorang itu jadi tergila-gila; siang malam tak habisnya menyesal.hmm, salahnya sendiri, dia lebih menurut pada ibunya. Dia laki-laki, masa mau saja dijodohkan. Laki-laki bodoh macam apa? Meninggalkan seseorang yang sudah enam tahun menjadi kekasihnya hanya karena dijodohkan orang tua, memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Masih saja manut dengan kawin paksa. Sekali lagi kutegaskan, diaitu laki-laki, seharusnya bisa pertahankan pilihannya, ah memang saja, mungkin dia sudah bosan denganku. Jadi perjodohan itu hanya alasan, ya mungkin saja. Yang jelas, sekarang aku ingin dia tergila-gila padaku, dan aku tak akan mau meladeninya lagi, biar saja dia jadi gila beneran.
            Ketika kuceritakan, Laki-laki kelenik itu hanya menatapku. Samasekali tidak ada respons yang berarti. Wajahnya datar saja, matanya tak bicara apa-apa, itu mungkin karena sebenarnya dia sudah tahu maksudku melalui qarinnya yang bisa ia perintah untuk bicara dengan qarinku. Dulu, pamanku pernah bercerita, bahwa kita tidak sendiri di dunia ini, maksudnya, setiap orang itu punya dirinya yang lain, qarin namanya. Itu semacam makhluk halus yang selalu bersama dengan kita. Dan katanya, Itu yang menyebabkandejavu.Entahlah.
Sedikit menghela nafas, dia langsung kembali melakukan kegiatan seperti saat aku datang,awal merasakan keganjilan; Bibirnya bergerak-gerak, jari-jarinya menaburkan kemenyan, dan seketika, lagi-lagi asap mengepul menyertakan bau bersamanya. Air yang diselimuti bunga itu bergerak, membuat riak dengan sendirinya, kemudian berpendar, mengikat perhatianku agar tidak melewatkannya.
            Laki-laki kelenik itu mulai bersuara, hanya untuk mempersilakan kepergianku. Katanya, aku hanya tinggal menunggu beberapa hari, dan sesuatu akan terjadi. Aku arahkan mataku kewajahnya untuk terakhir karena sudah hendak pulang. Mata kami bertemu, untuk beberapa saat kami terdiam. Saling mencari apa yang ada di dalam hitam pupil kami. Tidak, kurasa hanya aku yang mencarinya, sedang dia mungkin mudah saja menerka isi mata ini. Tapi, kulihat, matanya adalah mata yang baru. Mata yang lurus seperti anak panah.
***
            Seminggu dari pertemuan itu, aku kembali menemui si laki-laki kelenik. Tidak kusangka, pertemuan sebelumnya begitu ampuh; nyatanya, mantanku terus saja menghubungiku. Dan dia berhasil membuatku risih. Entah kenapa, perasaanku jadi berputar haluan, jika sebelumnya aku sangat mencintainya;ingin menikah dengannya.Sekarang justru sebaliknya, aku jadi sangat membencinya; ingin membunuhnya malahan. Tapi tidak bisa, konyol jika aku harus masuk penjara hanya karena itu. Aku tekankan; Inibukan karena kehadiran wanita itu! Bukan! Sama sekali bukan. Aku tidak benci pada wanita itu. Aku benci pada mantan kekasihku, ah bukan, tepatnya,dia itu sampah. Kunang-kunang saja setia, bahkan rela mati dimakan betinanya.
            Ruangannya masih tetap seperti minggu lalu, gelap dan membuat pengap. Ada topeng di sana sini, baunya juga tetap sama. Tapi, oh lihat! Ada yang berbeda, sekarang laki-laki itu tampak lebih muda. Dia mencukur berewok dan kumisnya. Dari tampangnya, dia seumuran denganku. Atau tidak beda jauh lah. Selain itu, dia yang lebih dulu membuka pembicaraan. Aneh. Minggu lalu, dia hanya diam, diam mulutnya. matanya saja yang berbicara, seolah ingin menikamku langsung dari muka. Sebelum aku menceritakan maksudku,dia sudah lebih dulu mengeluarkan suara, merangkai kalimat-kalimat yang aku ingin sampaikan.
Tapi aku tidak heran, dukun memang begitu, seperti yang sering aku lihat di TV. Hanya bedanya, kondisi ruangan dan penampilan seorang dukun yang kulihat sekarang tidak berlebihan seperti di TV, yang sering digambarkan dengan cahaya merah dan tengkorak atau jenglot yang menggantung di leher. Dia masih tetap terlihat seperti manusia pada umumnya.
Sebenarnya, dia juga manusia yang manis. Tapi tidak berlebihan seperti di sinetron-sinetron, yang acap kali memberikan peran tukang becak pada aktor-aktor ganteng. Sudah itu wajahnya terang benderang, tidak mewakili tukang becak yang sering panas-panasan di bawah sinar matahari, atau yang sering dikeroyok asap dan debukendaraan.
            Dia manis sewajarnya, seperti jambu air. Seperti secangkir teh dengan satu sendok gula pasir. Wajar saja. Manis tapi aman, tidak terlalu berbahaya. Aku bilang itu adalah selera orang yang mengerti arti manis sebenarnya.Itu juga membuatku selalu ingin melihatnya, atau sekedar melirik. Ada kepuasan tersendiri ketika mataku menikmati wajahnya, yang manis sesuai takar. Sesekali dia juga memergoki aku yang sedang asik menatapnya, ah sebenarnya aku tidak ingin mengganggu ritualnya yang sedang membatalkan permintaanku minggu lalu­­-karena rasa risih itu, aku memaafkan si sampah.
             “Sekarang anda sudah boleh pulang.” Ah, ritualnya sudah selesai. Waktu berjalan begitu tergesa. Aku bahkan tidak sadar dia melakukan sesuatu. Rasanya, kehendaknya dapat terjadi begitu saja hanya dengan menggerak-gerakan bibir. Sangat instant, mirip Jim Carrey di Bruce Almighty.
Dia tengok ke arahku. Mata kami bertemu; masih dengan anak panah itu. Hanya sekarang rasanya anak panah itu menghujam dada, merajah pori-pori. Ada sesuatu yang terpicu: adrenalin. Semacampacuan kudayang melarangku pulang. Tapi kuabaikan itu. Aku bergegas saja dengan senyum yang barangkali akan tertinggal di sini, di ruangan yang sumpek ini, dan kuharap dia memungutnya: Sebagai kenangan.
***
            Di kamar ini, sudah tidak ada sisa-sisa cinta. Biasanya, dia merupa menjadi boneka lucu, bingkai, bantal, dan bunga. Klise! Mereka sudah meleleh dijilat api! Tapi aku berharap bisa membangunnya kembali, seperti memilin benang yang belum kabur serat-seratnya. di dinding kamar, aku lihat timbul serat-serat cat yang membentuk gurat wajah. Ya, itu wajah dia. Oh, wajah si lelaki kelenik, si dukun yang manis. Aku pejamkan saja mata. Oh dewaaa, dia muncul lagi menjadi kilat-kilat dalam gelap!
            Kilat-kilat itu hilang sejenak. namun muncul kembali. Bahkan kini jadi semakin nyata dan hidup.Kilatan-kilatan itu tumbuh menjadi tangan-tangan yang kemudian mendekapku.Serabut kilatan yang lebih lembut membentuk yang lain. Dia membulat dan menyerupa kepala, rambut, telinga, mata, hidung, kemudian bibir dan dagu. Ah, aku cumbu saja bibirnya. Mumpung ini mimpi. Lagian mana berani aku kalau betul-betul mencumbunya, di ruangannya misalnya, seperti tadi sore. Tapi di sini, sekarang:kami saling memilin tubuh satu sama lain, hingga tak berjarak setubuh semut pun.
            Paginya, aku bangun dengan pakaian atas terbuka. Aku bergegas mengancingkannya kembali. Hari ini aku ada janji dengan klienku, mengurusi asuransi jiwa suaminya.
            Aku turunkan sepasang kaki dari tempat tidur, lantainya dingin menyengat. Oh, Ada yang lain. Lantainya kotor, seperti ada bekas jejak sepatu. Tanah itu sampai di atas seprai.Sesuatu yang hangat naik ke kepala, tubuhku lemas, lunglai. Dada menderu, kuping berdenging dan semua berputar mengitari tubuh. Aku rasa; aku ingin jatuh.
                                                                                                                                    Leuwiliang,
Januari 2014.

Selasa, 06 Mei 2014

RAYAH




taken by Fahmi Reza

Mengendap dalam malam serupa kabut, serupa asap dari ranting dan daun basah yang dibakar sabagai pengusir nyamuk. Gumpalan-gumpalan putih mengalir di udara, merembes ke celah jendela. Dia bergerak, mulai menjarah. Sepintas memang tidak ada yang hilang. Namun, keceriaan dan kekenesan itulah yang justru ia rampas. Dia curi jiwanya, hal yang lebih penting dari tubuh yang sekedar cangkang. Beberapa dari mereka  menjadi stres, kehilangan cahaya, bahkan ada juga yang gila. Aku bisa katakan begitu karena aku tahu persis, mereka hanya bengong saja saban hari. Kalau kami bertanya, para gadis korban itu paling-paling menjawab dengan mata yang melotot kearah kami, kemudian menangis.

Dalam sekejap, orang-orang pintar berlomba-lomba adu kesaktian. Semuanya mengerucutkan anggapan bahwa pelakunya adalah seseorang yang mencari kesaktian dengan bersekutu dengan setan.Sembari hati rada ngeri, kami jadi rajin ronda malam. Bergantian, sesuai jadwal yang ada di papan pengumuman. Dua tiga pria berjaga, berkelilingkampung dengankentongan di tangannya, dua yang lain menunggu giliran di pos sambil menghisap tembakau yang dibungkus kaung, sambil menyeruput kopi hitam pekat serupa malam. Tapi heran, entah bagaimana caranya, kami selalu kecolongan. Teriakan gadis perawan merobek malam, mencambuk kami yang katanya berjaga.

Pada awalnya, Aku sedikit masa bodoh, toh satu dua gadis itu tidak ada hubungannya denganku. Tapi ternyata kelamaan, setelah kejadian itu berulang lima kali dalam satu bulan terakhir, aku jadi tidak bisa masa bodoh lagi.Oh, kami sekampung jadi tidak tenang. Belingsatan. Kembang-kembang dirayah setan. Ini adalah beban moral, gadis perawan di kampung Asem, kampungku yang kecil; sudah hampir habis. Beberapa di antara mereka ada yang langsung dinikahkan oleh orang tuanya, sengaja untuk menghindari pencurian. Semuanya memang jadi  serba begitu saja, terjadi dengan cepat dan asal-asalan.

Semangatku menggebu untuk menyelamatkan kampung halaman, karena adasi Minahdi dalamnya yang juga terancam. Minah yang aku cinta, Minah yang perawan tanggung;  Enam belas tahun usianya. Nyatanya lagi,sekarang dia adalah gadis perawan terakhir di Kampung Asem yang masih sehat jiwa raganya. Di bawahnya hanya anak-anak sepuluh tahun ke bawah. Si Minah pasti jadi incaran berikutnya.

Malam ini Kamis kliwon, aku berjaga malam walaupun tidak ada namaku dalam daftar. Menurut penerawangan; Dia akan datang. Maka kami bertujuh fokus pada rumah si Minah. Kami yakin, sasaran berikutnya ya pasti gadis itu, gadis cantik anak Pak RW. Si Minah yang kulitnya kuning, yang hidungnya mancung, yang matanya besar, dan yang kalau tertawa, seperti ada sarang undur-undur di pipinya. Aku duga, kenapa si Minah sampai sekarang belum dia satroni? Itu pasti karena si Minah paling cantik di kampung ini. Layaknya makanan, bagian paling enak pasti disisakan untuk dicecap paling akhir.

Golok-golok nyelempang,kohkol siap berteriak dengan nyaring, membangunkan tubuh-tubuh yang lunglai di bawah atap Kampung. Kafeina telahmengalir ke seluruh tubuh,  mata dan pikirianku akan terjaga hingga fajar lahir kembali. Pokoknya, malam ini aku harus tangkap setan itu! Tak kubiarkan suara jangkrikpun mengisi telingaku; seluruh indra aku tancapkan ke rumah si Minah. Ke jendela, pintu, atap dan ventilasi.

Aku berjaga disebelah barat, di dekat jendela kamar si Minah, sembunyi di belakang pagar bambu yang tertutup Jawer kotok; mataku nerawang di selah bambu. Sedangkan kawan-kawankuyang lainnnya sembunyi di posisi lain. Ini sudah sedikit lewat tengah malam, namun belum tampak tanda-tanda kemunculannya, hanya sesekali angin mengusap tengkuk yang membuat bergidik. Biar aku jelaskan; Malam-malam sebelumnya kami kecolongan karena tidak hanya satu rumah yang harus kami jaga, dan selalu sebagian dari kami terkena sirep hingga tidur pulas di atas tanah. Namun kali ini tidak ada lagi kata kecolongan, takkan kalah aku oleh pukau, kami jeratkan azimat di leher masing-masing.

***

Nyamuk-nyamuk berdenging di atas kepala. Detak-detak waktu terdengar begitu pasti, menyemayam dalam dada. Detik ke menit, menit ke jam, dan hitungan jam membias bersama angin dan rasa penasaran.Udara berkali-kali lewat.Kodok dan jangkrik sudah sumbang bunyinya. Teman-temanku terlihat bosan dan gelisah. Sebetulnya, aku juga mulai bosan. Sudah berjam-jam kami menunggu. Menahan diri dari denging dan gigit nyamuk, juga dari resah. Tapi tak satu juga tanda timbul.

                Dikdik, Iwong dan Beler menghampiri; mengajaku kembali ke pos untuk minum kopi dan bergantian jaga dengan yang lain. Aku bilang saja tidak, aku masih mesti disini. Menunggu si setan cabul, untuk bisa kujerat lehernya dengan tambang yang sudah kusiapkan, lalukucambuki seluruh badannya dengan bambu kuning sebesar telunjuk yang kuselipkan pada kain sarung di pinggang.

                Biarkan saja mereka pergi; melewatkan segalanya. Sedang aku akan jadi pahlawan, untuk si Minah tentunya. Kemudian mereka melangkah gesa. Aku pasang lagi mata. Nerawang ke arah sana, ke kaca-kaca kamar Minah yang remang. Kubayangkan aku lompat ke dalamnya, lalu kutatap dia, dan tanpa juntrungan kami bercengkrama menukar mata sedalam-dalam, hingga tanpa sadar kedua tangan kami seakan bertukar.Oh.

***

“Eh Kampret! Bangun lu! Itu diamasuk kamar!”

“Setan alas! Bangsat!” Kulempar jimat yang menggantung di leher. Suara kentongandimana-mana. Memunguti remah kantuk yang meluber di alas tanah. Kini belasan manusia mengeliling rumah Minah, rumah pak RW. Aku sendiri secepat kilat lari menuju jendela kamar yang sudah terbuka, lalu lompat ke dalam. Kutusuk setan itu dengan sorot mata, tapi sial, wajahnya amat jelek dan tak enak dipandang walau hanya satu detik. Hidungnya seperti hidung babi, seluruh tubuhnya berwarna hijau dan berbulu, dan dia tak mengenakan sehelaipun pakaian. Brak! Dia tendang pintu masuk ke ruangan tengah. Aku langsung mengejarnya, tapi tidak jadi, berhenti di depan pintu. Dimana si Minah? Dia tak ada di sini! Ah nanti sajalah, yang penting kejar si manusia babi itu dulu.

                Di luar begitu gaduh, suara bambu yang beradu,deru api pada obor,teriakan, makian, bersatu menjadi rombongan di hari yang hampir pagi. Kami ramai-ramai mengejarnya hingga ke tengah hutan. Satu per satu melemparkan bambu berujung runcing, namun tak satupun tepat ke sasaran. Bambu-bambu itu terhempas ke kiri dan kanan di tolak angin. Beberapa menit kami mengejarnya, menyebar ke setiap jengkal pepohonan dan belukar. Namun entah bagaimana caranya, dia menghilang bagai ditelan gelap.

                Sekarang, lupakan dulu makhluk aneh itu. Kami beramai-ramai kembali ke rumah Pak RW sambil membawa hati yang dongkol. Setibanya di sana, kedongkolan itu langsung lumer, leleh oleh gelak tawa, menyadari bahwa ternyata rumah Pak RW telah dikosongkan. Kata Pak Ridwan, tetangga terdekat Pak RW; Mereka sekeluarga meninggalkan kampung selepas maghrib tanpa seorang pun tahu. Itu untuk menjaga putrinya. Lupalah kami atas kejadian menegangkan barusan.

***

                Tiga bulan sudah sejak malam itu. masih kunantikan kepulangan Minah. Aku akan segera melamarnya begitu ia pulang. Kedua orang tuaku pun sudah tau mengenai hal ini. Dan mereka setuju. Betapa pula, Minah adalah gadis ramah dan cantik, keluarganya pun terpandang. Dan aku sudah memiliki penghasilan dari peternakan ayamku. Cukuplah untuk membangun sebuah keluarga. Kemudian, Kulamunkan juga; betapa indah keluarga kami kelak. Punya anak-anak yanglucu, istri cantik, yang setiap saat mampu mengobati lara. Aku tersenyum-senyum sendiri di pos ronda sambil memandangi bebatuan pecah di atas tanah.

                Sayup-sayup terdengar langkah. “Minah?”

Sekonyong-konyong bunga bersemi dalam dada. Aku langsung berlari. Aku sambut ketiganya. Aku raih tangan kedua orang yang entah sejak kapan kuanggap mertuaku, aku kecup dan ucap terimakasih. Namun, wajah keduanya begitu kuyu. Seperti pohon randu mati. Aku tengok pada Minah, matanya kosong. Lebih sadis dari pohon sembab yang terkapar dan habis dimakan rayap. Tiba-tiba saja, aku tidak bisa menahan segala yang pecah dari kedua mata. Pecahan-pecahan itu membasahi tanah kampung.

Taman Sari, Bogor

April 2014