Jumat, 09 Mei 2014

Anglo

cinta itu harus sekadarnya saja, tidak baik berlebihan. seperti manisnya secangkir teh dengan sesendok gula pasir. seperti manisnya jambu air. manis. manis yang aman.
nah, 1 lagi cerpen karya fahmi reza yang akan saya post-kan. selamat membaca. semoga anda suka.



ANGLO
            Asap mengepul di langit-langit. Kemenyan meleleh di pedupaan, menyebarkan wangian khas yang kemudian mengantri, keluar lewat bubungan. Dalam baskom berisi air, mengambang tujuh rupa bebungaan yang menyengat pula baunya. Udara tak bergerak, temaram menyibak antara mantra dan logika. Jari-jarinya terus menaburkan menyan pada bara, perlahan, menambah gumpalan asap yang menusuk mata. Alisnya mengernyit, menandakan keseriusan. Matanya menikam ke sudut-sudut ruangan.
            Kulihat, kuperhatikan wajahnya. Bibirnya yang penuh dengan garis tegas bergerak-gerak kecil, matanya menutup dengan kepala tertunduk. Belum ada kerut disana; dia masih muda. Hanya saja, janggut, kumis, dan gayanya, membuatnya jadi terlihat lebih tua; tak bersahabat. Saat bola matanya mengarah padaku, aku lemparkan pandanganku, kemana saja, asal tak ditemukannya. Kemudian dia mulai bertanya, dan aku menjawab. Karena ini sebuah tujuan, maka aku utarakan maksud bahwa aku ingin membuat seseorang jadi kembali mencintaiku, mungkin tepatnya agar seseorang itu jadi tergila-gila; siang malam tak habisnya menyesal.hmm, salahnya sendiri, dia lebih menurut pada ibunya. Dia laki-laki, masa mau saja dijodohkan. Laki-laki bodoh macam apa? Meninggalkan seseorang yang sudah enam tahun menjadi kekasihnya hanya karena dijodohkan orang tua, memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Masih saja manut dengan kawin paksa. Sekali lagi kutegaskan, diaitu laki-laki, seharusnya bisa pertahankan pilihannya, ah memang saja, mungkin dia sudah bosan denganku. Jadi perjodohan itu hanya alasan, ya mungkin saja. Yang jelas, sekarang aku ingin dia tergila-gila padaku, dan aku tak akan mau meladeninya lagi, biar saja dia jadi gila beneran.
            Ketika kuceritakan, Laki-laki kelenik itu hanya menatapku. Samasekali tidak ada respons yang berarti. Wajahnya datar saja, matanya tak bicara apa-apa, itu mungkin karena sebenarnya dia sudah tahu maksudku melalui qarinnya yang bisa ia perintah untuk bicara dengan qarinku. Dulu, pamanku pernah bercerita, bahwa kita tidak sendiri di dunia ini, maksudnya, setiap orang itu punya dirinya yang lain, qarin namanya. Itu semacam makhluk halus yang selalu bersama dengan kita. Dan katanya, Itu yang menyebabkandejavu.Entahlah.
Sedikit menghela nafas, dia langsung kembali melakukan kegiatan seperti saat aku datang,awal merasakan keganjilan; Bibirnya bergerak-gerak, jari-jarinya menaburkan kemenyan, dan seketika, lagi-lagi asap mengepul menyertakan bau bersamanya. Air yang diselimuti bunga itu bergerak, membuat riak dengan sendirinya, kemudian berpendar, mengikat perhatianku agar tidak melewatkannya.
            Laki-laki kelenik itu mulai bersuara, hanya untuk mempersilakan kepergianku. Katanya, aku hanya tinggal menunggu beberapa hari, dan sesuatu akan terjadi. Aku arahkan mataku kewajahnya untuk terakhir karena sudah hendak pulang. Mata kami bertemu, untuk beberapa saat kami terdiam. Saling mencari apa yang ada di dalam hitam pupil kami. Tidak, kurasa hanya aku yang mencarinya, sedang dia mungkin mudah saja menerka isi mata ini. Tapi, kulihat, matanya adalah mata yang baru. Mata yang lurus seperti anak panah.
***
            Seminggu dari pertemuan itu, aku kembali menemui si laki-laki kelenik. Tidak kusangka, pertemuan sebelumnya begitu ampuh; nyatanya, mantanku terus saja menghubungiku. Dan dia berhasil membuatku risih. Entah kenapa, perasaanku jadi berputar haluan, jika sebelumnya aku sangat mencintainya;ingin menikah dengannya.Sekarang justru sebaliknya, aku jadi sangat membencinya; ingin membunuhnya malahan. Tapi tidak bisa, konyol jika aku harus masuk penjara hanya karena itu. Aku tekankan; Inibukan karena kehadiran wanita itu! Bukan! Sama sekali bukan. Aku tidak benci pada wanita itu. Aku benci pada mantan kekasihku, ah bukan, tepatnya,dia itu sampah. Kunang-kunang saja setia, bahkan rela mati dimakan betinanya.
            Ruangannya masih tetap seperti minggu lalu, gelap dan membuat pengap. Ada topeng di sana sini, baunya juga tetap sama. Tapi, oh lihat! Ada yang berbeda, sekarang laki-laki itu tampak lebih muda. Dia mencukur berewok dan kumisnya. Dari tampangnya, dia seumuran denganku. Atau tidak beda jauh lah. Selain itu, dia yang lebih dulu membuka pembicaraan. Aneh. Minggu lalu, dia hanya diam, diam mulutnya. matanya saja yang berbicara, seolah ingin menikamku langsung dari muka. Sebelum aku menceritakan maksudku,dia sudah lebih dulu mengeluarkan suara, merangkai kalimat-kalimat yang aku ingin sampaikan.
Tapi aku tidak heran, dukun memang begitu, seperti yang sering aku lihat di TV. Hanya bedanya, kondisi ruangan dan penampilan seorang dukun yang kulihat sekarang tidak berlebihan seperti di TV, yang sering digambarkan dengan cahaya merah dan tengkorak atau jenglot yang menggantung di leher. Dia masih tetap terlihat seperti manusia pada umumnya.
Sebenarnya, dia juga manusia yang manis. Tapi tidak berlebihan seperti di sinetron-sinetron, yang acap kali memberikan peran tukang becak pada aktor-aktor ganteng. Sudah itu wajahnya terang benderang, tidak mewakili tukang becak yang sering panas-panasan di bawah sinar matahari, atau yang sering dikeroyok asap dan debukendaraan.
            Dia manis sewajarnya, seperti jambu air. Seperti secangkir teh dengan satu sendok gula pasir. Wajar saja. Manis tapi aman, tidak terlalu berbahaya. Aku bilang itu adalah selera orang yang mengerti arti manis sebenarnya.Itu juga membuatku selalu ingin melihatnya, atau sekedar melirik. Ada kepuasan tersendiri ketika mataku menikmati wajahnya, yang manis sesuai takar. Sesekali dia juga memergoki aku yang sedang asik menatapnya, ah sebenarnya aku tidak ingin mengganggu ritualnya yang sedang membatalkan permintaanku minggu lalu­­-karena rasa risih itu, aku memaafkan si sampah.
             “Sekarang anda sudah boleh pulang.” Ah, ritualnya sudah selesai. Waktu berjalan begitu tergesa. Aku bahkan tidak sadar dia melakukan sesuatu. Rasanya, kehendaknya dapat terjadi begitu saja hanya dengan menggerak-gerakan bibir. Sangat instant, mirip Jim Carrey di Bruce Almighty.
Dia tengok ke arahku. Mata kami bertemu; masih dengan anak panah itu. Hanya sekarang rasanya anak panah itu menghujam dada, merajah pori-pori. Ada sesuatu yang terpicu: adrenalin. Semacampacuan kudayang melarangku pulang. Tapi kuabaikan itu. Aku bergegas saja dengan senyum yang barangkali akan tertinggal di sini, di ruangan yang sumpek ini, dan kuharap dia memungutnya: Sebagai kenangan.
***
            Di kamar ini, sudah tidak ada sisa-sisa cinta. Biasanya, dia merupa menjadi boneka lucu, bingkai, bantal, dan bunga. Klise! Mereka sudah meleleh dijilat api! Tapi aku berharap bisa membangunnya kembali, seperti memilin benang yang belum kabur serat-seratnya. di dinding kamar, aku lihat timbul serat-serat cat yang membentuk gurat wajah. Ya, itu wajah dia. Oh, wajah si lelaki kelenik, si dukun yang manis. Aku pejamkan saja mata. Oh dewaaa, dia muncul lagi menjadi kilat-kilat dalam gelap!
            Kilat-kilat itu hilang sejenak. namun muncul kembali. Bahkan kini jadi semakin nyata dan hidup.Kilatan-kilatan itu tumbuh menjadi tangan-tangan yang kemudian mendekapku.Serabut kilatan yang lebih lembut membentuk yang lain. Dia membulat dan menyerupa kepala, rambut, telinga, mata, hidung, kemudian bibir dan dagu. Ah, aku cumbu saja bibirnya. Mumpung ini mimpi. Lagian mana berani aku kalau betul-betul mencumbunya, di ruangannya misalnya, seperti tadi sore. Tapi di sini, sekarang:kami saling memilin tubuh satu sama lain, hingga tak berjarak setubuh semut pun.
            Paginya, aku bangun dengan pakaian atas terbuka. Aku bergegas mengancingkannya kembali. Hari ini aku ada janji dengan klienku, mengurusi asuransi jiwa suaminya.
            Aku turunkan sepasang kaki dari tempat tidur, lantainya dingin menyengat. Oh, Ada yang lain. Lantainya kotor, seperti ada bekas jejak sepatu. Tanah itu sampai di atas seprai.Sesuatu yang hangat naik ke kepala, tubuhku lemas, lunglai. Dada menderu, kuping berdenging dan semua berputar mengitari tubuh. Aku rasa; aku ingin jatuh.
                                                                                                                                    Leuwiliang,
Januari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar