nah, 1 lagi cerpen karya fahmi reza yang akan saya post-kan. selamat membaca. semoga anda suka.
ANGLO
Asap mengepul di
langit-langit. Kemenyan meleleh di pedupaan, menyebarkan wangian khas yang kemudian
mengantri, keluar lewat bubungan. Dalam baskom berisi air, mengambang tujuh
rupa bebungaan yang menyengat pula baunya. Udara tak bergerak, temaram menyibak
antara mantra dan logika. Jari-jarinya terus menaburkan menyan pada bara,
perlahan, menambah gumpalan asap yang menusuk mata. Alisnya mengernyit,
menandakan keseriusan. Matanya menikam ke sudut-sudut ruangan.
Kulihat, kuperhatikan
wajahnya. Bibirnya yang penuh dengan garis tegas bergerak-gerak kecil, matanya
menutup dengan kepala tertunduk. Belum ada kerut disana; dia masih muda. Hanya
saja, janggut, kumis, dan gayanya, membuatnya jadi terlihat lebih tua; tak
bersahabat. Saat bola matanya mengarah padaku, aku lemparkan pandanganku,
kemana saja, asal tak ditemukannya. Kemudian dia mulai bertanya, dan aku
menjawab. Karena ini sebuah tujuan, maka aku utarakan maksud bahwa aku ingin membuat
seseorang jadi kembali mencintaiku, mungkin tepatnya agar seseorang itu jadi
tergila-gila; siang malam tak habisnya menyesal.hmm, salahnya sendiri, dia lebih menurut pada ibunya. Dia
laki-laki, masa mau saja dijodohkan. Laki-laki bodoh macam apa? Meninggalkan seseorang
yang sudah enam tahun menjadi kekasihnya hanya karena dijodohkan orang tua,
memangnya ini zaman Siti Nurbaya? Masih saja manut dengan kawin paksa. Sekali
lagi kutegaskan, diaitu laki-laki, seharusnya bisa pertahankan pilihannya, ah memang saja, mungkin dia sudah bosan
denganku. Jadi perjodohan itu hanya alasan, ya mungkin saja. Yang jelas,
sekarang aku ingin dia tergila-gila padaku, dan aku tak akan mau meladeninya
lagi, biar saja dia jadi gila beneran.
Ketika kuceritakan,
Laki-laki kelenik itu hanya menatapku. Samasekali tidak ada respons yang
berarti. Wajahnya datar saja, matanya tak bicara apa-apa, itu mungkin karena
sebenarnya dia sudah tahu maksudku melalui qarinnya
yang bisa ia perintah untuk bicara dengan qarinku. Dulu, pamanku pernah bercerita, bahwa kita tidak sendiri
di dunia ini, maksudnya, setiap orang itu punya dirinya yang lain, qarin namanya. Itu semacam makhluk halus
yang selalu bersama dengan kita. Dan katanya, Itu yang menyebabkandejavu.Entahlah.
Sedikit menghela nafas, dia langsung kembali melakukan kegiatan seperti
saat aku datang,awal merasakan keganjilan; Bibirnya bergerak-gerak, jari-jarinya
menaburkan kemenyan, dan seketika, lagi-lagi asap mengepul menyertakan bau
bersamanya. Air yang diselimuti bunga itu bergerak, membuat riak dengan
sendirinya, kemudian berpendar, mengikat perhatianku agar tidak melewatkannya.
Laki-laki kelenik itu
mulai bersuara, hanya untuk mempersilakan kepergianku. Katanya, aku hanya
tinggal menunggu beberapa hari, dan sesuatu akan terjadi. Aku arahkan mataku
kewajahnya untuk terakhir karena sudah hendak pulang. Mata kami bertemu, untuk
beberapa saat kami terdiam. Saling mencari apa yang ada di dalam hitam pupil
kami. Tidak, kurasa hanya aku yang mencarinya, sedang dia mungkin mudah saja
menerka isi mata ini. Tapi, kulihat, matanya adalah mata yang baru. Mata yang
lurus seperti anak panah.
***
Seminggu dari pertemuan
itu, aku kembali menemui si laki-laki kelenik. Tidak kusangka, pertemuan
sebelumnya begitu ampuh; nyatanya, mantanku terus saja menghubungiku. Dan dia
berhasil membuatku risih. Entah kenapa, perasaanku jadi berputar haluan, jika
sebelumnya aku sangat mencintainya;ingin menikah dengannya.Sekarang justru
sebaliknya, aku jadi sangat membencinya; ingin membunuhnya malahan. Tapi tidak
bisa, konyol jika aku harus masuk penjara hanya karena itu. Aku tekankan;
Inibukan karena kehadiran wanita itu! Bukan! Sama sekali bukan. Aku tidak benci
pada wanita itu. Aku benci pada mantan kekasihku, ah bukan, tepatnya,dia itu sampah. Kunang-kunang saja setia, bahkan
rela mati dimakan betinanya.
Ruangannya masih tetap
seperti minggu lalu, gelap dan membuat pengap. Ada topeng di sana sini, baunya
juga tetap sama. Tapi, oh lihat! Ada yang berbeda, sekarang laki-laki itu
tampak lebih muda. Dia mencukur berewok dan kumisnya. Dari tampangnya, dia
seumuran denganku. Atau tidak beda jauh lah.
Selain itu, dia yang lebih dulu membuka pembicaraan. Aneh. Minggu lalu, dia
hanya diam, diam mulutnya. matanya saja yang berbicara, seolah ingin menikamku
langsung dari muka. Sebelum aku menceritakan maksudku,dia sudah lebih dulu
mengeluarkan suara, merangkai kalimat-kalimat yang aku ingin sampaikan.
Tapi aku tidak heran, dukun memang begitu, seperti yang sering aku lihat
di TV. Hanya bedanya, kondisi ruangan dan penampilan seorang dukun yang kulihat
sekarang tidak berlebihan seperti di TV, yang sering digambarkan dengan cahaya
merah dan tengkorak atau jenglot yang
menggantung di leher. Dia masih tetap terlihat seperti manusia pada umumnya.
Sebenarnya, dia juga manusia yang manis. Tapi tidak berlebihan seperti
di sinetron-sinetron, yang acap kali memberikan peran tukang becak pada
aktor-aktor ganteng. Sudah itu wajahnya terang benderang, tidak mewakili tukang
becak yang sering panas-panasan di bawah sinar matahari, atau yang sering dikeroyok
asap dan debukendaraan.
Dia manis sewajarnya,
seperti jambu air. Seperti secangkir teh dengan satu sendok gula pasir. Wajar
saja. Manis tapi aman, tidak terlalu berbahaya. Aku bilang itu adalah selera
orang yang mengerti arti manis sebenarnya.Itu juga membuatku selalu ingin
melihatnya, atau sekedar melirik. Ada kepuasan tersendiri ketika mataku
menikmati wajahnya, yang manis sesuai takar. Sesekali dia juga memergoki aku
yang sedang asik menatapnya, ah
sebenarnya aku tidak ingin mengganggu ritualnya yang sedang membatalkan
permintaanku minggu lalu-karena rasa risih itu, aku memaafkan si sampah.
“Sekarang anda sudah boleh pulang.” Ah, ritualnya sudah selesai. Waktu
berjalan begitu tergesa. Aku bahkan tidak sadar dia melakukan sesuatu. Rasanya,
kehendaknya dapat terjadi begitu saja hanya dengan menggerak-gerakan bibir. Sangat
instant, mirip Jim Carrey di Bruce Almighty.
Dia tengok ke arahku. Mata kami bertemu; masih dengan anak panah itu.
Hanya sekarang rasanya anak panah itu menghujam dada, merajah pori-pori. Ada
sesuatu yang terpicu: adrenalin. Semacampacuan kudayang melarangku pulang. Tapi
kuabaikan itu. Aku bergegas saja dengan senyum yang barangkali akan tertinggal
di sini, di ruangan yang sumpek ini, dan kuharap dia memungutnya: Sebagai
kenangan.
***
Di kamar ini, sudah
tidak ada sisa-sisa cinta. Biasanya, dia merupa menjadi boneka lucu, bingkai,
bantal, dan bunga. Klise! Mereka sudah meleleh dijilat api! Tapi aku berharap
bisa membangunnya kembali, seperti memilin benang yang belum kabur
serat-seratnya. di dinding kamar, aku lihat timbul serat-serat cat yang
membentuk gurat wajah. Ya, itu wajah dia. Oh, wajah si lelaki kelenik, si dukun
yang manis. Aku pejamkan saja mata. Oh dewaaa, dia muncul lagi menjadi
kilat-kilat dalam gelap!
Kilat-kilat itu hilang
sejenak. namun muncul kembali. Bahkan kini jadi semakin nyata dan hidup.Kilatan-kilatan
itu tumbuh menjadi tangan-tangan yang kemudian mendekapku.Serabut kilatan yang
lebih lembut membentuk yang lain. Dia membulat dan menyerupa kepala, rambut,
telinga, mata, hidung, kemudian bibir dan dagu. Ah, aku cumbu saja bibirnya. Mumpung ini mimpi. Lagian mana berani
aku kalau betul-betul mencumbunya, di ruangannya misalnya, seperti tadi sore. Tapi
di sini, sekarang:kami saling memilin tubuh satu sama lain, hingga tak berjarak
setubuh semut pun.
Paginya, aku bangun
dengan pakaian atas terbuka. Aku
bergegas mengancingkannya kembali. Hari ini aku ada janji dengan klienku,
mengurusi asuransi jiwa suaminya.
Aku turunkan sepasang
kaki dari tempat tidur, lantainya dingin menyengat. Oh, Ada yang lain.
Lantainya kotor, seperti ada bekas jejak sepatu. Tanah itu sampai di atas
seprai.Sesuatu yang hangat naik ke kepala, tubuhku lemas,
lunglai. Dada menderu, kuping berdenging dan semua berputar mengitari tubuh.
Aku rasa; aku ingin jatuh.
Leuwiliang,
Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar