Selasa, 06 Mei 2014

RAYAH




taken by Fahmi Reza

Mengendap dalam malam serupa kabut, serupa asap dari ranting dan daun basah yang dibakar sabagai pengusir nyamuk. Gumpalan-gumpalan putih mengalir di udara, merembes ke celah jendela. Dia bergerak, mulai menjarah. Sepintas memang tidak ada yang hilang. Namun, keceriaan dan kekenesan itulah yang justru ia rampas. Dia curi jiwanya, hal yang lebih penting dari tubuh yang sekedar cangkang. Beberapa dari mereka  menjadi stres, kehilangan cahaya, bahkan ada juga yang gila. Aku bisa katakan begitu karena aku tahu persis, mereka hanya bengong saja saban hari. Kalau kami bertanya, para gadis korban itu paling-paling menjawab dengan mata yang melotot kearah kami, kemudian menangis.

Dalam sekejap, orang-orang pintar berlomba-lomba adu kesaktian. Semuanya mengerucutkan anggapan bahwa pelakunya adalah seseorang yang mencari kesaktian dengan bersekutu dengan setan.Sembari hati rada ngeri, kami jadi rajin ronda malam. Bergantian, sesuai jadwal yang ada di papan pengumuman. Dua tiga pria berjaga, berkelilingkampung dengankentongan di tangannya, dua yang lain menunggu giliran di pos sambil menghisap tembakau yang dibungkus kaung, sambil menyeruput kopi hitam pekat serupa malam. Tapi heran, entah bagaimana caranya, kami selalu kecolongan. Teriakan gadis perawan merobek malam, mencambuk kami yang katanya berjaga.

Pada awalnya, Aku sedikit masa bodoh, toh satu dua gadis itu tidak ada hubungannya denganku. Tapi ternyata kelamaan, setelah kejadian itu berulang lima kali dalam satu bulan terakhir, aku jadi tidak bisa masa bodoh lagi.Oh, kami sekampung jadi tidak tenang. Belingsatan. Kembang-kembang dirayah setan. Ini adalah beban moral, gadis perawan di kampung Asem, kampungku yang kecil; sudah hampir habis. Beberapa di antara mereka ada yang langsung dinikahkan oleh orang tuanya, sengaja untuk menghindari pencurian. Semuanya memang jadi  serba begitu saja, terjadi dengan cepat dan asal-asalan.

Semangatku menggebu untuk menyelamatkan kampung halaman, karena adasi Minahdi dalamnya yang juga terancam. Minah yang aku cinta, Minah yang perawan tanggung;  Enam belas tahun usianya. Nyatanya lagi,sekarang dia adalah gadis perawan terakhir di Kampung Asem yang masih sehat jiwa raganya. Di bawahnya hanya anak-anak sepuluh tahun ke bawah. Si Minah pasti jadi incaran berikutnya.

Malam ini Kamis kliwon, aku berjaga malam walaupun tidak ada namaku dalam daftar. Menurut penerawangan; Dia akan datang. Maka kami bertujuh fokus pada rumah si Minah. Kami yakin, sasaran berikutnya ya pasti gadis itu, gadis cantik anak Pak RW. Si Minah yang kulitnya kuning, yang hidungnya mancung, yang matanya besar, dan yang kalau tertawa, seperti ada sarang undur-undur di pipinya. Aku duga, kenapa si Minah sampai sekarang belum dia satroni? Itu pasti karena si Minah paling cantik di kampung ini. Layaknya makanan, bagian paling enak pasti disisakan untuk dicecap paling akhir.

Golok-golok nyelempang,kohkol siap berteriak dengan nyaring, membangunkan tubuh-tubuh yang lunglai di bawah atap Kampung. Kafeina telahmengalir ke seluruh tubuh,  mata dan pikirianku akan terjaga hingga fajar lahir kembali. Pokoknya, malam ini aku harus tangkap setan itu! Tak kubiarkan suara jangkrikpun mengisi telingaku; seluruh indra aku tancapkan ke rumah si Minah. Ke jendela, pintu, atap dan ventilasi.

Aku berjaga disebelah barat, di dekat jendela kamar si Minah, sembunyi di belakang pagar bambu yang tertutup Jawer kotok; mataku nerawang di selah bambu. Sedangkan kawan-kawankuyang lainnnya sembunyi di posisi lain. Ini sudah sedikit lewat tengah malam, namun belum tampak tanda-tanda kemunculannya, hanya sesekali angin mengusap tengkuk yang membuat bergidik. Biar aku jelaskan; Malam-malam sebelumnya kami kecolongan karena tidak hanya satu rumah yang harus kami jaga, dan selalu sebagian dari kami terkena sirep hingga tidur pulas di atas tanah. Namun kali ini tidak ada lagi kata kecolongan, takkan kalah aku oleh pukau, kami jeratkan azimat di leher masing-masing.

***

Nyamuk-nyamuk berdenging di atas kepala. Detak-detak waktu terdengar begitu pasti, menyemayam dalam dada. Detik ke menit, menit ke jam, dan hitungan jam membias bersama angin dan rasa penasaran.Udara berkali-kali lewat.Kodok dan jangkrik sudah sumbang bunyinya. Teman-temanku terlihat bosan dan gelisah. Sebetulnya, aku juga mulai bosan. Sudah berjam-jam kami menunggu. Menahan diri dari denging dan gigit nyamuk, juga dari resah. Tapi tak satu juga tanda timbul.

                Dikdik, Iwong dan Beler menghampiri; mengajaku kembali ke pos untuk minum kopi dan bergantian jaga dengan yang lain. Aku bilang saja tidak, aku masih mesti disini. Menunggu si setan cabul, untuk bisa kujerat lehernya dengan tambang yang sudah kusiapkan, lalukucambuki seluruh badannya dengan bambu kuning sebesar telunjuk yang kuselipkan pada kain sarung di pinggang.

                Biarkan saja mereka pergi; melewatkan segalanya. Sedang aku akan jadi pahlawan, untuk si Minah tentunya. Kemudian mereka melangkah gesa. Aku pasang lagi mata. Nerawang ke arah sana, ke kaca-kaca kamar Minah yang remang. Kubayangkan aku lompat ke dalamnya, lalu kutatap dia, dan tanpa juntrungan kami bercengkrama menukar mata sedalam-dalam, hingga tanpa sadar kedua tangan kami seakan bertukar.Oh.

***

“Eh Kampret! Bangun lu! Itu diamasuk kamar!”

“Setan alas! Bangsat!” Kulempar jimat yang menggantung di leher. Suara kentongandimana-mana. Memunguti remah kantuk yang meluber di alas tanah. Kini belasan manusia mengeliling rumah Minah, rumah pak RW. Aku sendiri secepat kilat lari menuju jendela kamar yang sudah terbuka, lalu lompat ke dalam. Kutusuk setan itu dengan sorot mata, tapi sial, wajahnya amat jelek dan tak enak dipandang walau hanya satu detik. Hidungnya seperti hidung babi, seluruh tubuhnya berwarna hijau dan berbulu, dan dia tak mengenakan sehelaipun pakaian. Brak! Dia tendang pintu masuk ke ruangan tengah. Aku langsung mengejarnya, tapi tidak jadi, berhenti di depan pintu. Dimana si Minah? Dia tak ada di sini! Ah nanti sajalah, yang penting kejar si manusia babi itu dulu.

                Di luar begitu gaduh, suara bambu yang beradu,deru api pada obor,teriakan, makian, bersatu menjadi rombongan di hari yang hampir pagi. Kami ramai-ramai mengejarnya hingga ke tengah hutan. Satu per satu melemparkan bambu berujung runcing, namun tak satupun tepat ke sasaran. Bambu-bambu itu terhempas ke kiri dan kanan di tolak angin. Beberapa menit kami mengejarnya, menyebar ke setiap jengkal pepohonan dan belukar. Namun entah bagaimana caranya, dia menghilang bagai ditelan gelap.

                Sekarang, lupakan dulu makhluk aneh itu. Kami beramai-ramai kembali ke rumah Pak RW sambil membawa hati yang dongkol. Setibanya di sana, kedongkolan itu langsung lumer, leleh oleh gelak tawa, menyadari bahwa ternyata rumah Pak RW telah dikosongkan. Kata Pak Ridwan, tetangga terdekat Pak RW; Mereka sekeluarga meninggalkan kampung selepas maghrib tanpa seorang pun tahu. Itu untuk menjaga putrinya. Lupalah kami atas kejadian menegangkan barusan.

***

                Tiga bulan sudah sejak malam itu. masih kunantikan kepulangan Minah. Aku akan segera melamarnya begitu ia pulang. Kedua orang tuaku pun sudah tau mengenai hal ini. Dan mereka setuju. Betapa pula, Minah adalah gadis ramah dan cantik, keluarganya pun terpandang. Dan aku sudah memiliki penghasilan dari peternakan ayamku. Cukuplah untuk membangun sebuah keluarga. Kemudian, Kulamunkan juga; betapa indah keluarga kami kelak. Punya anak-anak yanglucu, istri cantik, yang setiap saat mampu mengobati lara. Aku tersenyum-senyum sendiri di pos ronda sambil memandangi bebatuan pecah di atas tanah.

                Sayup-sayup terdengar langkah. “Minah?”

Sekonyong-konyong bunga bersemi dalam dada. Aku langsung berlari. Aku sambut ketiganya. Aku raih tangan kedua orang yang entah sejak kapan kuanggap mertuaku, aku kecup dan ucap terimakasih. Namun, wajah keduanya begitu kuyu. Seperti pohon randu mati. Aku tengok pada Minah, matanya kosong. Lebih sadis dari pohon sembab yang terkapar dan habis dimakan rayap. Tiba-tiba saja, aku tidak bisa menahan segala yang pecah dari kedua mata. Pecahan-pecahan itu membasahi tanah kampung.

Taman Sari, Bogor

April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar