taken by Fahmi
Reza
Mengendap dalam malam serupa kabut, serupa
asap dari ranting dan daun basah yang dibakar sabagai pengusir nyamuk.
Gumpalan-gumpalan putih mengalir di udara, merembes ke celah jendela. Dia bergerak,
mulai menjarah. Sepintas memang tidak ada yang hilang. Namun, keceriaan dan
kekenesan itulah yang justru ia rampas. Dia curi jiwanya, hal yang lebih
penting dari tubuh yang sekedar cangkang. Beberapa dari mereka menjadi stres, kehilangan cahaya, bahkan ada
juga yang gila. Aku bisa katakan begitu karena aku tahu persis, mereka hanya
bengong saja saban hari. Kalau kami bertanya, para gadis korban itu
paling-paling menjawab dengan mata yang melotot kearah kami, kemudian menangis.
Dalam sekejap, orang-orang pintar berlomba-lomba
adu kesaktian. Semuanya mengerucutkan anggapan bahwa pelakunya adalah seseorang
yang mencari kesaktian dengan bersekutu dengan setan.Sembari hati rada ngeri,
kami jadi rajin ronda malam. Bergantian, sesuai jadwal yang ada di papan
pengumuman. Dua tiga pria berjaga, berkelilingkampung dengankentongan di
tangannya, dua yang lain menunggu giliran di pos sambil menghisap tembakau yang
dibungkus kaung, sambil menyeruput
kopi hitam pekat serupa malam. Tapi heran, entah bagaimana caranya, kami selalu
kecolongan. Teriakan gadis perawan merobek malam, mencambuk kami yang katanya
berjaga.
Pada awalnya, Aku sedikit masa bodoh, toh
satu dua gadis itu tidak ada hubungannya denganku. Tapi ternyata kelamaan,
setelah kejadian itu berulang lima kali dalam satu bulan terakhir, aku jadi
tidak bisa masa bodoh lagi.Oh, kami
sekampung jadi tidak tenang. Belingsatan. Kembang-kembang dirayah setan. Ini
adalah beban moral, gadis perawan di kampung Asem, kampungku yang kecil; sudah
hampir habis. Beberapa di antara mereka ada yang langsung dinikahkan oleh orang
tuanya, sengaja untuk menghindari pencurian. Semuanya memang jadi serba begitu saja, terjadi dengan cepat dan
asal-asalan.
Semangatku menggebu untuk menyelamatkan kampung
halaman, karena adasi Minahdi dalamnya yang juga terancam. Minah yang aku cinta,
Minah yang perawan tanggung; Enam belas
tahun usianya. Nyatanya lagi,sekarang dia adalah gadis perawan terakhir di
Kampung Asem yang masih sehat jiwa raganya. Di bawahnya hanya anak-anak sepuluh
tahun ke bawah. Si Minah pasti jadi incaran berikutnya.
Malam ini Kamis kliwon, aku berjaga malam
walaupun tidak ada namaku dalam daftar. Menurut penerawangan; Dia akan datang. Maka
kami bertujuh fokus pada rumah si Minah. Kami yakin, sasaran berikutnya ya
pasti gadis itu, gadis cantik anak Pak RW. Si Minah yang kulitnya kuning, yang
hidungnya mancung, yang matanya besar, dan yang kalau tertawa, seperti ada
sarang undur-undur di pipinya. Aku duga, kenapa si Minah sampai sekarang belum
dia satroni? Itu pasti karena si Minah paling cantik di kampung ini. Layaknya
makanan, bagian paling enak pasti disisakan untuk dicecap paling akhir.
Golok-golok nyelempang,kohkol siap berteriak dengan nyaring, membangunkan tubuh-tubuh yang
lunglai di bawah atap Kampung. Kafeina telahmengalir ke seluruh tubuh, mata dan pikirianku akan terjaga hingga fajar lahir
kembali. Pokoknya, malam ini aku harus tangkap setan itu! Tak kubiarkan suara
jangkrikpun mengisi telingaku; seluruh indra aku tancapkan ke rumah si Minah.
Ke jendela, pintu, atap dan ventilasi.
Aku berjaga disebelah barat, di dekat jendela
kamar si Minah, sembunyi di belakang pagar bambu yang tertutup Jawer kotok; mataku
nerawang di selah bambu. Sedangkan kawan-kawankuyang lainnnya sembunyi di
posisi lain. Ini sudah sedikit lewat tengah malam, namun belum tampak
tanda-tanda kemunculannya, hanya sesekali angin mengusap tengkuk yang membuat
bergidik. Biar aku jelaskan; Malam-malam sebelumnya kami kecolongan karena
tidak hanya satu rumah yang harus kami jaga, dan selalu sebagian dari kami
terkena sirep hingga tidur pulas di atas tanah. Namun kali ini tidak ada lagi
kata kecolongan, takkan kalah aku oleh pukau, kami jeratkan azimat di leher
masing-masing.
***
Nyamuk-nyamuk berdenging di atas kepala. Detak-detak
waktu terdengar begitu pasti, menyemayam dalam dada. Detik ke menit, menit ke
jam, dan hitungan jam membias bersama angin dan rasa penasaran.Udara berkali-kali
lewat.Kodok dan jangkrik sudah sumbang bunyinya. Teman-temanku terlihat bosan
dan gelisah. Sebetulnya, aku juga mulai bosan. Sudah berjam-jam kami menunggu.
Menahan diri dari denging dan gigit nyamuk, juga dari resah. Tapi tak satu juga
tanda timbul.
Dikdik,
Iwong dan Beler menghampiri; mengajaku kembali ke pos untuk minum kopi dan
bergantian jaga dengan yang lain. Aku bilang saja tidak, aku masih mesti
disini. Menunggu si setan cabul, untuk bisa kujerat lehernya dengan tambang
yang sudah kusiapkan, lalukucambuki seluruh badannya dengan bambu kuning sebesar
telunjuk yang kuselipkan pada kain sarung di pinggang.
Biarkan
saja mereka pergi; melewatkan segalanya. Sedang aku akan jadi pahlawan, untuk
si Minah tentunya. Kemudian mereka melangkah gesa. Aku pasang lagi mata.
Nerawang ke arah sana, ke kaca-kaca kamar Minah yang remang. Kubayangkan aku
lompat ke dalamnya, lalu kutatap dia, dan tanpa juntrungan kami bercengkrama
menukar mata sedalam-dalam, hingga tanpa sadar kedua tangan kami seakan
bertukar.Oh.
***
“Eh Kampret!
Bangun lu! Itu diamasuk kamar!”
“Setan alas! Bangsat!” Kulempar jimat yang
menggantung di leher. Suara kentongandimana-mana.
Memunguti remah kantuk yang meluber di alas tanah. Kini belasan manusia
mengeliling rumah Minah, rumah pak RW. Aku sendiri secepat kilat lari menuju
jendela kamar yang sudah terbuka, lalu lompat ke dalam. Kutusuk setan itu
dengan sorot mata, tapi sial, wajahnya amat jelek dan tak enak dipandang walau
hanya satu detik. Hidungnya seperti hidung babi, seluruh tubuhnya berwarna
hijau dan berbulu, dan dia tak mengenakan sehelaipun pakaian. Brak! Dia tendang pintu masuk ke ruangan
tengah. Aku langsung mengejarnya, tapi tidak jadi, berhenti di depan pintu.
Dimana si Minah? Dia tak ada di sini! Ah nanti
sajalah, yang penting kejar si manusia babi itu dulu.
Di
luar begitu gaduh, suara bambu yang beradu,deru
api pada obor,teriakan, makian, bersatu menjadi rombongan di hari yang hampir
pagi. Kami ramai-ramai mengejarnya hingga ke tengah hutan. Satu per satu
melemparkan bambu berujung runcing, namun tak satupun tepat ke sasaran.
Bambu-bambu itu terhempas ke kiri dan kanan di tolak angin. Beberapa menit kami
mengejarnya, menyebar ke setiap jengkal pepohonan dan belukar. Namun entah
bagaimana caranya, dia menghilang bagai ditelan gelap.
Sekarang,
lupakan dulu makhluk aneh itu. Kami beramai-ramai kembali ke rumah Pak RW
sambil membawa hati yang dongkol. Setibanya di sana, kedongkolan itu langsung
lumer, leleh oleh gelak tawa, menyadari bahwa ternyata rumah Pak RW telah
dikosongkan. Kata Pak Ridwan, tetangga terdekat Pak RW; Mereka sekeluarga
meninggalkan kampung selepas maghrib tanpa seorang pun tahu. Itu untuk menjaga
putrinya. Lupalah kami atas kejadian menegangkan barusan.
***
Tiga
bulan sudah sejak malam itu. masih kunantikan kepulangan Minah. Aku akan segera
melamarnya begitu ia pulang. Kedua orang tuaku pun sudah tau mengenai hal ini.
Dan mereka setuju. Betapa pula, Minah adalah gadis ramah dan cantik,
keluarganya pun terpandang. Dan aku sudah memiliki penghasilan dari peternakan
ayamku. Cukuplah untuk membangun sebuah keluarga. Kemudian, Kulamunkan juga;
betapa indah keluarga kami kelak. Punya anak-anak yanglucu, istri cantik, yang
setiap saat mampu mengobati lara. Aku tersenyum-senyum sendiri di pos ronda
sambil memandangi bebatuan pecah di atas tanah.
Sayup-sayup
terdengar langkah. “Minah?”
Sekonyong-konyong bunga bersemi dalam dada.
Aku langsung berlari. Aku sambut ketiganya. Aku raih tangan kedua orang yang
entah sejak kapan kuanggap mertuaku, aku kecup dan ucap terimakasih. Namun,
wajah keduanya begitu kuyu. Seperti pohon randu mati. Aku tengok pada Minah,
matanya kosong. Lebih sadis dari pohon sembab yang terkapar dan habis dimakan
rayap. Tiba-tiba saja, aku tidak bisa menahan segala yang pecah dari kedua mata.
Pecahan-pecahan itu membasahi tanah kampung.
Taman
Sari, Bogor
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar